Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً -أَوْ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً- أَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman mempunyai 63 atau 73 cabang. Yang paling utama adalah kalimat tauhid la ilaha illallah. Yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim, an-Nasai, dan lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan tiga perkara yang terkait dengan keimanan.
1. Ucapan, yakni kalimat tauhid la ilaha illallah. Inilah hal yang rukun.
2. Amalan, yakni menyingkirkan gangguan dari jalan. Inilah hal yang mustahab.
3. Amalan hati, yakni malu. Ini termasuk hal yang wajib.
Lawan dari iman adalah kafir. Sebagaimana halnya keimanan mempunyai banyak cabang, kekafiran pun memiliki cabang yang banyak.
Namun, tidak setiap orang yang mengerjakan salah satu dari cabang-cabang keimanan dikatakan mukmin. Demikian pula tidak orang yang melakukan salah satu dari cabang kekafiran lantas dikatakan kafir.
Untuk lebih memperjelas hal di atas, salah satu contohnya adalah orang yang menyambung tali silaturahmi. Perbuatan ini merupakan cabang keimanan. Ia belumlah dapat dikatakan mukmin karena amalan tersebut, sampai ia mengerjakan rukun-rukun iman.
Demikian pula halnya dengan orang yang meratapi mayit. Perbuatan ini adalah salah satu dari cabang kekafiran. Akan tetapi, tidaklah setiap orang yang melakukan hal tersebut menjadi kafir keluar dari Islam.
Sumber: